Gengsi… Tapi Sangat Terpuji
Ditulis oleh Ustadz Sufyan Baswedan, MA
Sikap gengsi tidak selamanya tercela. Ada gengsi yang tercela, namun ada juga yang terpuji. Gengsi dalam menerima kebenaran sangatlah tercela, namun gengsi dalam meminta hajat kepada manusia, amatlah terpuji. Berikut ini sebagian kecil dari gengsi yang terpuji ala salafus shalih.
Hakiem bin Hizam bin Khuwailid Al-Asadi
Beliau adalah keponakan Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah. Beliau masuk Islam menjelang penaklukan kota Mekkah (th 8 H). Rasulullah pernah memberinya 100 ekor unta dari ghanimah yang beliau dapatkan usai perang Hunain. Beliau konon 12 tahun lebih tua dari Rasulullah, dan baru wafat 44 tahun sepeninggal Rasulullah.
Urwah bin Zubeir dan Sa’id bin Musayyib meriwayatkan, bahwa Hakiem bin Hizam radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku pernah meminta uang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memberiku. Kemudian aku minta uang lagi, dan beliau kembali memberiku. Untuk ketiga kalinya, aku minta uang lagi, dan beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda, “Hai Hakiem, harta memanglah indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya tanpa meminta berulang kali dan tanpa rasa tamak, ia akan mendapatkan berkahnya. Namun barangsiapa mengambilnya dengan penuh ambisi dan rasa tamak, maka tidak akan mendapat berkahnya. Ibarat orang yang makan namun tidak kenyang-kenyang. Dan tangan yang di atas lebih baik dari pada yang di bawah”. Lanjut Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku takkan meminta sesuatu kepada siapa pun setelahmu, sampai aku berpisah dengan dunia” kata Hakiem.
Hari-hari pun berlalu… Rasulullah telah tiada dan kekhalifahan beralih ke tangan Abu Bakar. Sebagai kepala negara, kesejahteraan rakyat adalah perhatian utamanya. Khalifah yang adil dan zuhud ini pun memanggil satu-persatu sahabat Rasulullah yang masih hidup, lalu memberi mereka santunan dari baitul mal.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memanggil Hakiem agar menerima bagiannya dari baitul mal, namun Hakiem menolaknya. Dua tahun dari kekhalifahan Abu Bakar pun berlalu, dan kini Umar bin Khatthab yang menjabat sebagai Amirul Mukminin. Sebagai penerus Abu Bakar, Umar juga memerhatikan kesejahteraan para sahabat, termasuk Hakiem bin Hizam.
Umar pun memanggil Hakiem untuk menerima santunan, namun Hakiem tetap saja tak mau mengambil seepeser pun. Maka Umar berkata kepada para sahabatnya, “Saksikanlah oleh kalian wahai kaum muslimin, bahwa aku telah menyerahkan bagiannya dari baitul mal, namun ia tak mau mengambilnya”.
Demikianlah sikap Hakiem bin Hizam radhiyallahu ‘anhu yang tetap ‘gengsi’ untuk meminta sesuatu kepada siapa pun sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai beliau wafat, radhiyallaahu ‘anhu .[1]
Berbaiat Untuk Gengsi
Mungkin Anda heran membaca judul di atas… saya pun demikian. Akan tetapi hadits berikut benar-benar menunjukkan bahwa ‘gengsi’ seperti ini adalah amal shalih yang sangat besar pahalanya… namun juga sangat jarang diamalkan, bahkan direnungkan. Jangankan oleh para santri dan thullabul ‘ilmi, alim ulama dan kyai saja nyaris tak ada yang mengamalkannya…
Sahabat ‘Auf bin Malik Al Asyja’iy radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kami pernah berkumpul dengan Rasulullah, antara tujuh hingga sembilan orang. Ketika itu, kami baru saja membaiat beliau, namun beliau berkata, “Tidakkah kalian berbaiat kepada Rasulullah?”
“Kami telah berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah” sahut kami.
“Tidakkah kalian membaiat Rasulullah?” tanya beliau lagi.
“Kami telah membaiatmu wahai Rasulullah !” sahut kami lagi.
“Tidakkah kalian membaiat Rasulullah?” tanya beliau lagi.
Maka kami ulurkan tangan kami seraya berkata, “Kami telah membaiatmu wahai Rasulullah… lalu dalam rangka apa kami harus berbaiat lagi?”
“Berbaiatlah dalam rangka mengabdi kepada Allah tanpa menyekutukan sesuatupun denganNya, dalam rangka menegakkan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, dan -sembari melirihkan suaranya- jangan meminta sesuatupun kepada manusia” lanjut Rasulullah.
Alangkah beratnya baiat ini…
Tak meminta sesuatu pun kepada manusia… mana mungkin? Ini hampir mustahil untuk bisa diwujudkan. Namun tidak ada yang mustahil bagi para sahabat bila Allah yang memberi taufik. Bukan hanya ‘gengsi’ meminta harta, bahkan minta tolong dalam hal yang ‘sepele’ pun mereka hindari, selagi mereka mampu melakukannya sendiri…
Auf bin Malik melanjutkan, “Sungguh, aku pernah menyaksikan salah satu dari mereka -yang berbaiat tadi- saat cemetinya terjatuh, dan ia berada di atas tunggangannya. Ia tidak minta tolong kepada seorang pun agar mengambilkan cemeti tadi untuknya”.[2]
Jadi, pantaslah jika pahala amal shalih mereka yang kelihatan ‘tak seberapa’, dilipat-gandakan luar biasa oleh Allah Ta’ala.
Pantaslah jika sedekah mereka yang hanya segenggam atau setengahnya, lebih besar pahalanya dari sedekah kita yang sebesar gunung Uhud… karena mereka jauh lebih teguh dalam mewujudkan konsekuensi dari iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’ien… Hanya kepadaMu kami mengabdi, dan hanya kepadaMu kami minta tolong. Inilah rahasia kehebatan amal mereka… sedangkan kita hanya pandai mengulang-ulangnya 17 kali setiap hari, tanpa memahami konsekuensinya, apalagi mengamalkan… nastaghfirullaaha wa natuubu ilaihi.
Lantas bagaimana dengan para tabi’in? Simaklah kisah berikut yang sekaligus menutup artikel yang mudah ditulis, namun sangat berat untuk diamalkan ini…
Dalam kitab Al-Mujalasah, Ad-Dinawari meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan bin ‘Uyainah, bahwa Khalifah Hisyam bin Abdil Malik pernah masuk ke Ka’bah. Tiba-tiba, beliau mendapati Salim bin Abdillah bin Umar[3] dalam Ka’bah.
“Hai Salim, sampaikan keinginanmu kepadaku”, kata Hisyam.
“Aku malu kepada Allah untuk meminta di rumah-Nya kepada selain-Nya”, jawab Salim.
Tak lama berselang, Salim pun keluar dari Ka’bah, dan Hisyam kembali membuntutinya sambil mengingatkan,
“Nah, sekarang kamu sudah keluar, maka mintalah kebutuhanmu kepadaku” kata Hisyam.
“Hajat duniawi atau hajat ukhrawi?” tanya Salim.
“Hajat duniawi tentunya” jawab Hisyam.
“Sungguh demi Allah, aku tidak pernah meminta dunia kepada yang menguasainya (Allah), lantas bagaimana aku hendak meminta kepada yang tidak menguasainya?” jawab Salim.[4]
Subhaanallaah… tawaran manis dari penguasa negara dengan mudah ditolaknya. Padahal, kalaupun Salim menyebutkan hajat duniawinya, toh itu juga karena perintah Khalifah… dan bukan beliau yang memulai. Akan tetapi, itulah gengsi ala para ulama masa silam (salafus shalih) yang sangat terpuji. Sesuai dengan konsekuensi tauhid yang mereka ulang setiap hari…
Mampukah kita meneladani mereka?
Semoga…
Keterangan:
- [1] Inti kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 1472) dan Muslim (no 1035) dalam As Shahihain. Hakiem bin Hizam baru wafat pada tahun 54 H. Artinya, beliau sama sekali tidak mau menerima santunan baik dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, maupun Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum. Padahal umur beliau sepeninggal Rasulullah telah melebihi 75 tahun, dan baru wafat pada usia sekitar 120 tahun !!
- [2] HR. Muslim dalam Shahihnya (no 1043). Perlu dicatat, bahwa untuk mengambil cemeti yang jatuh, ia harus turun dari tunggangannya lalu melompat dan naik lagi. Ini jelas lebih merepotkan daripada sekedar ‘minta tolong’ diambilkan, akan tetapi…
- [3] Beliau adalah putera dari sahabat Ibnu Umar yang paling mirip dengan ayahnya, sedangkan Ibnu Umar adalah putera Umar bin Khatthab yang paling mirip dengan ayahnya. Salim termasuk satu dari 7 fuqoha’ kota Madinah di zamannya, yang terkenal dengan keilmuan, ketaqwaan, dan sikap zuhudnya. Beliau wafat pada tahun 106 atau 107 H.
- [4] Al Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm, oleh Ahmad bin Mirwan Ad Dinawari (no 80). Dengan sanad yang shahih.
KonsultasiSyariah.com
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK